Minggu, 01 Maret 2009
Masa Kecil
sahabat ( Rumah Kepompong )
Sabtu, 28 Februari 2009
Kado Untuk Ibu
Cermin Aulia
Gubrak…aduh!
Rani langsung memandang kearah suara yang ganduh, dia kaget seorang ibu terjatuh tersungkur sedangkan dangangannya berserakan kemana-mana. Dia langsung menghampiri ibu itu tadi, dia langsung merapihkan barang-barang yang berserakan. Dia menatap wajah wanita sebaruh baya dengan tatapan penuh kasihan dan prihatin, betapa tidak baju yang dikenakan ibu itu penuh tambalan serta lusuh seperti tidak pernah di setrikaan sama sekali.
“Ibu, nggak apa-apa” Tanya Rani manatap tajam pada ibu itu.
“Nggak, nak. Ibu nggak apa-apa terimakasih atas pertolongannya”
Dia tersenyum manis. Hatinya tiba-tiba bergetar seketika dikala ibu tadi manatap wajah dia. Ada sebuah kelembutan yang merasuki hati dia, begitu pula yang dirasakan oleh wanita itu, dia sepertinya pernah melihat wajah itu, tapi dimana, dia lupa wajah yang di miliki oleh gadis yang di hadapannya. Tak lama kemudian Rani minta diri untuk pulang, wanita itu menganguk seketika juga. Tiba-tiba hati Rani seperti ada sesuatu yang hilang di hatinya setelah dia pamitan dengan wanita tadi. Ada sebuah kerinduan yang dalam, tapi perasaan itu dia tepiskan dengan lembut.
***
Rumah Dunia, 02 Agustus 2007
“Ran, slamat ya! Cerpenmudi muat, lho!” Ujar Ririn sambil memeluk Rani dengan rasa suka ria.
“Cerpenku? Yang mana yah! Di muat dimana?” Tanya Rani bingung. Masalahnya dia sudah banyak sekali ngirim ke Kaibon, tapi tidak ada satupun yang di terima oleh kaoibon, jadi ketika dia mendengar cerpen dia diamuat hanya begong saja seperti mimpi, Tapi kebingungan itu terjawab seketika juga setelah Ririn memberikan majalah Kaibon yang ada tulisan dia. Di hati dia ada sebuah letupan untuk tetap maju, tak terasa ada air mata yang meleleh di sudut matanya.
“Selamat yah!” Senyum Ririn manis.
“Makasih ya Rin” Tatap Rani tulus.
Ririn menganguk seketika, melihat sebuah kegembiraan yang terpancar di wajah Rani. Dia paham sekali kalau Rina gembira juga kerena dia tahu kalau cerpen Rina baru masuk biarpun beberapa kali Rina mengirimnya.
“Rin, emangnya Nidu nggak ngasih tahu kalau cerpenmu masuk?” Tanya Ririn menatap wajah sahabatnya
“Nggak, salah aku sih! Aku nggak nyamtumkan nomer hpku saat ngirim cerpen, percuma kalau nyantumkan juga kalau nggak diterima juga” Senyum Rani manis.
Hari itu juga Rani gembira sekali. Tapi setelah dia sampai ke rumahnya ada sebuah rahasia yang melukai hati dia yang paling dalam. Mamahnya menceritqkan apa yang terjadi.
“Mama, jahat…mama jahat…” tangis Rani.
Hati dia sakit sekali mendengar apa yang di ceritakan mamanya, dia langsung masuk kamar dan membanting daun pintu dengan kerassnya. Mamanya yang berada di ruang tamu hanya bisa mengucamkan istigfar dan mengurut dadanya. Hati wanita setengah baya itu menyesal telah menceritakan semuanya, tapi dia perlu menceritakan siapa sebenarnya Rani itu. Mamanya langsung menuju kamar Rani yang tak jauh di ruang tamu.
“Ran, maafkan mama kalau mama salah. Perlu kamu ketahui mama dan ayahmu saying sama kamu mama lakukan ini kerena mama nggak ingin kamu melupakan siapa wanita yang telah berjuang untuk kehidupanmu, biarpun itu….”Ujar mamanya mengantungkan omongannya.
“Udah…mama…udah…” tangis Rani didalam kamar.
***
Seminggu kemudian!
“Mah, Rani anak siapa? Orang tua Rani siapa? Kenapa Rani di temukan mamah?” tanya Rani menatap wajah mamahnya.
“Itu yang mamah nggak tahu, mamah menemukan kamu di teras rumah ini” kata mamahnya menatap wajah Rani dengan lembut.
Rani mearik napas dalam-dalam seperti membuang beban yang berat menghimpit hatinya. Mamahnya menatap wajah Rani dengan lembutnya, semilirnya angin sore itu mengelus rambut Rani yang hitam dan panjang. Mamahnya langsung mencium kening Rani dengan lembutnya, dia merasakan kalau selama ini mamahnya sangat sayang sama dia. Belum sempat Rani membalas ciuman mamahnya, tiba-tiba sebuah suara keras memekakan telinga keduanya. Di depan rumah seorang wanita setengah baya tertabrak motor yang melaju dengan kencangnya, tubuh itu terpental jauh bebebrapa meter di tempatnya. Rani dan mamahnya langsung menghampiri wanita itu
Rani hampir berteriak setelah tahu, kalau wanita yang pernah ditemui itu bersimbah darah
“Ibu…ibu…ibu…” teriak Rani mengonyang-gonyangkan tubuh separuh baya itu, tapi wanita itu hanya diam saja. Mereka dengan cekatan langsung membawa wanita itu ke Rumah sakit yang tak jauh dari rumah dia. Dan yang paling dikwatirkan Rani dan mamahnya terjadi juga, persediaan darah habis, sedangkan wanita itu membutuhkan darah golongan A+ sedangkan jarang ada orang yang memiliki darah seperti itu kecuali anak kandungnya sendiri.
“Dok, please! Periksa darahku dulu” Kata Rani memohon sama dokter.
“Nggak mungkin bisa, kerena hanya anak kandungnya saja yang bisa mendonorkan darah sama ibu itu.
“Dok, dokter belum periksa darakku kenapa dokter bisa ngomong seperti itu? Kecuali kalau dokter telah memeriksa darahku baru dokter bisa memutuskan semuanya: teriak Rani kesal”
“Sudah lah, Ran. Kita nggak akan bisa menolong ibu itu” Ujar mamahnya pasrah
Dokter hanya bisa mengelengkan kepala melihat keteguhan hati Rani. Dia tetap ingin mendonorkan darahnya, terpaksa dokter mengajak Rani untuik memeriksakan darahnya untuk mendonorkan darahnya pada wanita itu.
“Aheh!” kata dokter itu stelah mengambil darah Rani.
“Kenapa dok?” tanya suster yang mendampinginya
“Darah gadis ini sama seperti yang kita butuhkan, jangan-jangan dia?”
Rani yang mendengarkan percakapan dokter dan suster hanya termanggu saja, ada sebuah getaran yang halus menyelusupi hati yang paling dalam, sebuah kerinduan yang begitu meluap.
“Kalau memang wanita itu….? Darah itu kado untukmu, ibu”
Hadiah Buat Bunda
Edisi 24/ th. 1/ 27 Desember-10 Januari 2009
Cermin Aulia
Desember telah datang!
Aku mempersiapkan sebuah hadiah untuk bunda. Aku membeli sebuah kalung yang berliontin berbentuk hati, biarpun hadiah itu nggak mungkin bisa membalas jasa bunda tapi aku ingin bunda mendapatkan hadiah itu dari uang hasil jerih payah aku. Aku rela saum demi membelikan hadiah untuk Bunda. Aku membanyangkan wajah bunda akan berseri-seri menerima hadiah dari aku, niatku akan memberikan hadiah itu pada tanggal 22 Desember, jatuh pada hari ibu. Tanggal itu juga tanggal ulang tahun bunda yang ke 60 tahun. Baru kali ini aku memberikan hadiah berupa kalung liontin untuk bunda, jadi aku ingin moment hari ibu maupun ulang tahun bunda jadi moment yang paling indah buat bundaku.
O,ya! Aku anak bungsu dari empat bersaudara, semua kakakku sudah pada nikah dan punya rumah masing-masing, kecuali kakakku yang ketiga masih tinggal bersama bunda soalnya bunda tinggal sendirian setelah ayah meninggal, Aku kuliah di Untirta baru semester empat, kalau pulang paling liburan semester saja, Aku jarang pulang kekampung, jadi untuk kebutuhan sehari-hari aku kerja sebagai penulis
“Rin, kamu nggak pulang kampung?” tanya Widi
“Nggak, insya Allah pulang ketika hari ibu saja. Aku ingin memmberikan hadiah hari ibu untuk bunda” jawab Airin pada Widi
“Hadiah apa yang kamu berikan buat ibumu?” tanya Widi sambil menatap wajah sahabatku dengan seksama.
Aku langsung beranjak dari tempat dudukku, aku masuk kedalam kamar kostan dan mengambil sebuah kotak berwarna merah yang berisikan sebuah kalung untuk bunda. Setelah mengambil kotak itu, aku menghampiri Widi memberikan sebuah kotak ketangan Widi, dia menerimanya dan membuka tutup kotak itu dia juga mengambil kalung yang aku simpan rapih. Dia berdecak kagum malihat kalung itu.
“Harganya berapa?” mata Widi terbelalak seketikan juga
“Nggak di jual” godaku pada Widi
Widi hanya diam saja, dibibirnya ada senyuman manis kearahku.
Beberapa kali Widi berdecak kagum kearahku, dia memuji aku kerena aku bisa membelikan sebuah kalung yang mahal untuk bunda, tapi bagiku harga bukan masalah kalau mengingat seberapa jauh bunda slalu menyanyangiku, dan pengorbanannya padaku dan juga pada saudara-saudaraku. Jadi kalau ingat hadiah itu tidak begitu seberapa kalau dibandingkan dengan cinta bunda sama aku dan kakakku. Yah! Kalau ingat jasa bunda begitu besar sama anaka-anaknya, biarpun kami sering melakukan salah sama bunda tapi bunda slalau mememberikan samudra maafnya yang luas. Biarpun aku dan kakakku memberikan nyawa sekalipun jasa ibu tak akan pernah bisa dibalas oleh apapun juga.
“Harga berapa, sih! mimik Widi serius sekali
“Satu juta setengah” ujarku riang sekali
“Ha, satu juta setengah, mahal sekali” Kata Widi
“Bagiku itu nggak seberapa kalau kita bandingkan dengan jasa orang tua kita, jasa mereka nggak akan kita balas”
“Iya, sih! Kalau itu. Aku juga tahu, semuanya nggak akan bisa membelasnya biarpun kita memberikan nyawa sekalipun” ujar Widi sambil menyimpan kotak itu ke meja dekat dipan.
“O,ya! Kamu kapan pulang?” tanya Widi lagi
“Insya Allah tanggal 21 Desember, aku pulang sambil memberikan hadiah ini.
“Jadi masih lama dong! Kamu di Serangnya”
Aku menganguk mengiyakan omongan Widi sahabatku. Setelah bincang-bincang Widi pamit pulang ke kostannya yang tak jauh dari kostanku hanya beberapa rumah saja dari rumah kotsanku itu. Setelah Widi pulang aku langsung meraih kotak itu, aku peluk kotak itu dengan kerinduan yang mendalam sekali. Aku akan senang sekali kalau bundaku menerima ini dengan sebuah ciuman yang paling hangat padaku, biarpun aku tidak memmbrikan apapun juga bunda sering menciaum dan memeluk aku, saat aku tidur. Bukan itu saja bunda pun sering membangunkan aku dari tidur yang lelap sambil mencium keningku dengan lembut, dan mengusap rambutku yang sebahu. Aku merindukan kehangatan bunda, ciuman, usapannya dan tutur sapa yang lembut sekali. Hatiku hanya ada satu nama yang begitu indah yaitu bunda, bunda yang slalu menemani hari-hariku, bunda slalau melindungi aku biarpun aku kuliah juga bunda slalu menjaga aku biarpun itu nyawa taruhannya. Ketulusan bunda yang jadi permataku.
Tanggal 20 Desember 2008
Semangatku melambung!
Kado untuk bunda udah aku siapkan, akupun telah membungkus kado itu dengan kertas kado yang berwarna pink. Aku ingin ketemu bunda saat itu juga. Sejak Idul Fitri kemarin aku nggak pulang-pulang ke rumah, ada kerinduan yang menyusup hatiku yang paling dalam. Aku mengambil kado itu dan memasukan ke dalam tasku yang akan aku bawa ke rumah, satu hari lagi aku akan pulang. Insya Allah aku pulang dari Serang pukul 16.00 dan kalau nggak ada halangan aku sampai kerumah bakda magrib aku sampai kerumah. Saat itu juga aku akan memberikan kado itu untuk bunda. Malam harinya aku keluar menuju rentalan komputer, aku menulis beberapa tulisan untuk bunda dan aku menempelkan tulisan itu di kado bunda yang akan aku berikan di malam hari ibu juga malam itu bunda ulang tahun.
Malam telah larut!
Malam itu aku gelisah sekali, sebenarnya aku ngantuk sekali tapi mata aku nggak bisa dipinjamkan sama sekali. Aku gelisah. Pikiranku melanyang entah keman, aku juga ianta bunda, ingat rumah, kakak maupun almarhum ayahku yang telah meninggal dunia ketika aku SMU kelas tiga. Tiba-tiba hatiku terasa sakit kalau ingat kematian ayahku, menurut para saksi ayah meninggal kerena kecelakaan di tabrak mobil dan orang itu nggak tangungjawab sama sekali. Aku, sih! Saat ayah kecelakaan aku di sekolah dan baru tahu setelah aku pulang kerumah. Bunda yang pertama kali yang ngasih tahu kalau ayah meninggal dunia, aku keget dan sedih baget mendengar ayahku meninggal, betapa tidak sosok ayah adalah sosok laki-laki yang tangungjawab, sering menyanyangi bunda. Biarpun bunda punya salah pada ayah, ayah ngak pernah memukul bunda.
Kalau melihat rumah tangga bunda dan ayah penuh romantis! Mereka sering saling mengoda, bercanda, kalau melihat itu aku hanya tersenyum. Bunda dan ayah kaya anak kecil apalagi kalau mereka saling bercanda, mereka sering lari-larian di depan anak-anaknya. Keempat anaknya hanya terpaku melihat kemesraan kedua orang tuanya. Tapi kebahagiaan itu runtuh setelah ayah meninggal dunia, ayah tidak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah perpustakaan untukku, malam itu semakin larut! Aku melihat jam di hpku, menunjukan jam 03.00 dini hari. Tiba-tiba aku tak sadar lagi. Tidur terlelap saat malam akan berganti dengan pagi.
Pakupatan 16.00
Di pakupatan aku langsung naik mobil jurusan Cibaliung. Mobil itu melaju dengan kencangnya, elusan angin mengelus kerudungku, elusan angin itu melelapkan aku, di perjalanan aku tertidur dengan lelapnya. Aku tidak tahu keadaan mobil yang aku tumpangi, masalahnya aku tadi malam tidak tidur, aku tidur baru beberapa jam suara adzan subuh berkumandang dengan merdunya menyapa telinggaku, dalam keadaan mengantuk aku bangun dan shalat subuh. Tadi sesudah shalat aku ingin tidur tapi Widi datang mengajak aku kekampus dengan malasnya aku ikut Widi masalahnya aku dan Widi ada tugas di kampus.
Airin masih terbuai oleh elusan angin yang mengelus lembut kearahnya.. kenek mobil tak tega untuk membangunkan Airin dari tidurnya, semua penumpang sudah membenyar ongkos tranportasinya hanya Airin saja yang belum membanyar.
“Neng…Neng…” Pangil seorang ibu membangunkan Airin
“Ibu” Ucapku bangun dari tidur, aku langsung melihat sekelilingku, mobil baru nyampe Cikedal. Aku langsung mengeser tempat duduk, dan ibu tadi duduk di tempat dudukku. Aku manarik napas dalam-dalam, banyangan wajah bunda membanyang kuat. Ada rindu dalam hatiku, aku langsung membuka tasku dan mengeluarkan kado untuk bunda, ada senyum dalam bibirku.
Mobil melaju denmgan kencangnya. Semua daerah telah di lewati kecuali Panimbang, saat mobil berhenti di perapatan Panimbang aku langsung turun dan naik ojeg. Di perjalanan banyangan wajah bunda terbanyang slalu, senyuman bunda, mata bunda dan semua yang bunda lakukan padaku aku ingat semuanya. Ada kerinduan yang meletup-letup dihatiku yang paling dalam.
Setelah sampai ke rumah. Rumah itu sepi sekali, biasanya juga begitu. Bunda slalu di dalam rumah apalagi adzan magrib berkumandang memanggil para muslim dan muslimah untuk menunaikan ibadah shalat. Aku langsung membanyar ongkos ojeg, aku berlari kecil menghampiri pintu rumahku, di dalam rumah aku mendengar suara ponakan rame sekali! Setelah mengucapkan salam, dan dibalas salamku kakak pertamaku yang membukakannya.
“Bunda mana?” tanyaku setelah kakakku membuka pintu rumah.
Kak Ryan bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memandang kearahku dengan tatapan yang berbeda sakali. Belum sempat aku omong kak Ranty menghampiri aku dan akak Ryan yang berada didepan pintu.
“Kak, bunda mana? Masih shalat yah!” Ujarku pada kak Ranty.
Kak Ranty juga bukan menjawab, dia merangkul aku dengan cintanya. “kita masuk dulu, minum yah!’ tawar kaka Ranty memandang wajahku dengan lembutnya.
Aku mengikuti kak Ranty ke ruang tamu, sedangkan ponakanku di ruang TV yang hanya di sekaat oleh gorden warna merah, warna kesukaan bunda. Sedangkan ketiga kakakku kini menghampiri aku dan mencium pipi kakan kiriku.
“Kak, bunda mana? O.ya! Airin ingin memberikan hadiah ini buat bunda. Besok bunda ulang tahun dan besok juga bunda ulang tahun” kataku sambil membuka tasku dan mengambil sebuah kotak yang berbentuk kotak di bungkus oleh kertas kado berwarna pink.
“Rin, maafkan kakak nggak ngasih tahu kamu sebelumnya, sebenarnya bunda sudah meninggal dua minggu yang lalu, Bunda meninggal ketika shalat idul Adha kemarin. Sebenarnya kakak akan ngasih tahu kamu saat itu, tapi kak Ryan melarang soalnya kak Ryan takut kuliahmu ke ngangngu” cerita kak Ranty menatap wajahku.
“Ini nggak mungkin!” teriakku keras sekali. Aku l;angsung berlari kearah kamar bunda, aku ingin bunda ada di sana , tapi bunda tidak ada di kamarnya, aku langsung membuka kamarku bunda sering tiduran di kamarku tapi tetap saja nggak ada. Aku ambruk seketika juga.
Pagi itu!
Aku menuju kuburan bunda, aku menyesal sekali kenapa Idul Adha kemarin aku nggak pulang untuk melihat wajah bunda.
“Bun, bunda nggak membutuhkan kalung itu, tapi Airin janji akan memberikan doa untuk hadiah ulang tahun dan hari ibu yang jatuh pada hari ini. Bun, hanya do’a yang Airin berikan buat hadiah untuk bunda. Moga bunda di tempatkan di sisi Allah”
Selesai
Sebuah keinginan dan semangat
Puisi-puisi karya Cermin Aulia
Hadiah
Ibu
Hadiah apa yang patut aku sembahkan untukmu
Ketulusanmu
Cintamu
Tak pernah berhenti tiap menit juga
Biarpun
Aku sering melukai hatimu
Tapi
Maafmu slalu aku dapatkan
Di setiap senyum manismu
Slamat hari ibu
Itu yang bisa aku berikan
Tak ada hadiah untukmu
Rumah Dunia 06 Desember 2008
Cermin Aulia
Ibu
Masihkan ada kado untukmu?
Yang aku berikan untuk menyambut hari ibu,
Ibu
Apa aku bisa memberikan hadiah istimewa untukmu?
Kado apa yang aku bisa, aku berikan di hari istimewa ini?
Rumah Dunia 06 Desember 2008
Cermin Aulia
Memory Desember
Kalian masihkah ingat
Desember kelabu yang telah memporakporanda serambi mekah
Empat tahun memorya itu yang terjadi menimpah Aceh
Masihkah ada orang mencintai mereka dengan tulus
Sahabat
Tangismu, adalah tangis semuanya
Semua penderiataanmu aalah penderitaan semuanya
Bangkit
Bangkitlah
Demi indinesia
Rumah Dunia 06 Desember 2008
Cermin Aulia
Cintamu
Ibu
Cinta tulusmu tak akan aku balas pakai apapun
Dihari ibu ini
Aku hanya bisa memberikan bait bait puisi untukmu
Biarpun kau tak memintanya
Tapi aku harus memberikan sebuah kado untukmu
Cintamu adalah banyang-banyang untuk aku berusaha hanya untuk
Mendapatkan kado istimewamu.
Rumah Dunia 06 Desember 20008
Cermin Aulia
Keheningan Malam
Dalam kesyahduan malam
Allah datang untuk menegur seluruh umat manusia
Dari keingkaran yang selama ini di lakukannya
Nun jauh disana bumi Serambi Mekah telah
Hancur di sapu gelombang Tsunami
Ibu pertiwi
Menangis lagi, tubuh tuanya tak bisa menangung beban yang berat
Rumah Dunia 06 Desember 2008
Cermin Aulia
Sebuah Kebangkitan
Semuanya telah luluh
Lantah
Tapi
Badai itu telah menghilang bersama
sebuah harapan yang muncul
sebuah kebangkitan yang taleh dating
menghampiri
kini harapan muncul bersama
sebuah senyuman yang menghiasi wajah
itu lah kebangkitan
yang telah
menghampiri
Serambi Mekah
Rumah Dunia 06 Desember 2008
Cermin Aulia